h1

Martabat

Desember 12, 2007

Suka Hardjana

Waktu masih duduk di bangku sekolah rakyat saya sering kesulitan membedakan kata martabat dan martabak. Buat anak kecil yang baru mulai belajar tahu memang agak sulit membedakan kedua kata itu.

Pertama, tentu karena kedua kata itu bukan kata bahasa Indonesia asli, melainkan contekan kata dari bahasa Arab. Kedua, karena di samping tak saling berkaitan, kedua kata benda tersebut sama sekali berbeda makna dan pengertian.

Buat anak kecil tentu lebih mudah memahami kata martabak. Martabak itu nyata, menarik perhatian, dan enak rasanya. Tetapi, martabat? Abstrak! Senyatanya tidak nyata. Ia hanya ada di benak angan-angan hasil bentukan abstraksi simbolis yang menjadi bagian konsep citra sosial dalam tata pergaulan antarmanusia. Kenyataan maya, kata orang zaman sekarang. Wajar bila anak-anak belum dapat memahami konsep semu di balik makna kata martabat.

Sejatinya, martabat hanyalah kesemuan (abstraksi sosial) yang seolah-olah. Hasil rekayasa adab manusia. Ia terbentuk melalui bangunan status yang diciptakan (diperkenalkan) sebagai hasil adopsi pergaulan manusia beradab. Konon, makin tinggi per/adab/an, makin berjenjang pula bangunan status sosial yang diciptakan manusia melalui adanya kebutuhan eksistensi ke koneksitas citra martabat.

Martabat adalah citra. Ia bangunan konstruksi sosial yang dianggap. Martabat lantas menjadi bagian penting bagi keberadaan manusia—baik pribadi maupun kelompok. Demikian pentingnya asumsi martabat manusia sampai-sampai ia menjadi pertaruhan hidup-mati bagi orang per orang, kelompok, maupun suku-suku bangsa tertentu.

Anehnya, manusia pilihan penuh martabat, seperti Jesus, Budha Gautama, Gandhi, Ibu Theresia, dan para sufi, sepertinya justru tidak begitu memusingkan martabat duniawi bagi dirinya sendiri: “Kerajaanku tidak ada di Bumi,” kata Jesus.

Mungkin paradoks ini bisa dibaca, semakin ciut (minder) citra martabat seseorang atau kelompok masyarakat dan suku/bangsa, semakin rusuh pula mereka merisaukan bangunan citra martabatnya. Orang lalu sering mudah marah, mudah merasa tersinggung, terhina, direndahkan, diremehkan, dilecehkan, disepelekan, tak dihargai, tak dihormati—merasa direndahkan harga diri dan martabatnya. Bagaimanakah sebenarnya martabat sehingga orang sering harus mati-matian mempertahankannya?

Martabat adalah asumsi dasar tingkat kemandirian eksistensi dalam adab tata pergaulan antarmanusia. Kecuali Hanoman dalam cerita wayang epik Mahabharata, makhluk binatang tak mengenal citra martabat. Semakin tinggi asumsi adab tata pergaulan antarmanusia, semakin tinggi pula pencitraan bangunan martabat yang dia angankan.

Dalam jenjangan status sosial hubungan antarmanusia, martabat sering dihubung-hubungkan dengan kekuasaan, kepangkatan, kedudukan dan jabatan, darah keturunan dan lingkungan, gelar, kekayaan dan sebagainya, sesuatu yang parameternya sumir dan diragukan.

Semua orang tahu, tak jarang orang berpangkat, berkuasa, berkedudukan, bergelar atau kaya ompong nama baik dan martabatnya karena terpeleset tingkah laku buruk di tataran umum.

Martabat juga sering dikorelasikan dengan nama baik, wibawa, kehormatan dan harga diri seseorang, kelompok, atau golongan masyarakat tertentu. Walaupun sama-sama abstrak, tetapi nama baik, wibawa, kehormatan, dan harga diri dipercaya sebagai elemen mendasar yang melatarbelakangi citra martabat seseorang.

Secara klasik, elemen-elemen mendasar yang menandai bobot martabat seseorang diyakini bersumber dari perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan prestise sebagai modal personal. Dalam acuan lebih dekat saya kira tidak banyak orang yang tidak setuju bila dikatakan Bung Hatta, HAMKA, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, dan Hamengku Buwono IX adalah contoh manusia Indonesia yang perilaku budi baik dan prestasi mereka (sebagai modal personal) melahirkan martabat yang membangkitkan rasa hormat hingga hari ini.

Dalam kondisi bangsa dan negara yang sedang kita lakoni saat ini, barangkali perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan prestise sebagai modal personal untuk meraih bobot martabat (moral value) lebih baik perlu dikampanyekan kepada semua orang dan golongan.

Walau lebih sulit dari memberantas korupsi dan menegakkan hukum, cara yang diusulkan di atas akan jauh lebih efektif dan berguna daripada terus-menerus melampiaskan jargon politik pepesan kosong berbunyi nyaring budaya unggul, bangsa besar, kita telah …., kita juga bisa…. dan seterusnya.

Rasa minder dan kesumat harga diri tak akan membangunkan rasa hormat yang melahirkan martabat. Martabat hanya bisa dibangun dengan perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan rasa hormat. Bukan karena sekadar kestabilan politik ragawi, kemakmuran surgawi dan kekuatan pertahanan militer otot-kawat-tulang besi. Banyak bangsa dan negara yang tergerogoti martabatnya justru karena kekuatan stabilitas politik, ekonomi dan pertahanannya yang represif dan menjadikan dirinya sebagai sumber petaka eksploitasi bagi orang dan bangsa lain.

Ekspansi kolonialisme baru dalam selubung neoliberalisme yang agresif dan mengabaikan martabat dan rasa hormat pihak liyan harus dicermati bila orang tak hendak dianggap keledai kampung oleh bangsa lain yang merasa lebih maju.

Martabat memang bukan martabak. Biar semu, tetapi terus dikejar orang. Seperti orang mengejar bayang-bayang sendiri. Sebagai modal personal, martabat hanya bisa dikejar dengan perbuatan nyata perilaku budi baik dan prestasi yang menimbulkan rasa hormat. Martabat tak mungkin diraih hanya dengan sekadar membangun wacana. Karena wacana itulah yang sesungguhnya semu dalam pengertian martabat sebenarnya.***

sumber KOMPAS

Tinggalkan komentar